Transformasi Cerpen ke Film
Sejalan dengan perkembangan teknologi, genre sastra dengan genre film semakin erat hubungannya. Kedua genre ini saling mendukung dalam perkembangannya. Dari tahun ke tahun semakin banyaknya karya sastra yang sudah di filmkan, begitu juga sebaliknya, dari film ditransformasikan menjadi karya sastra.
Kegiatan transformasi karya sastra kedalam bentuk film belakangan ini tidak saja dilakukan terhadap novel, tetapi juga cerpen. Diantara cerpen yang telah di filmkan adalah “Tentang Dia” karya Melly Goeslaw, dan “Mereka Bilang Saya Monyet”, karya Djenar Maesa Ayu, “Doa yang Mengancam”, karya Jujur Prananto, dan sebagainya.
Istilah transformasi karya sastra ke dalam bentuk film disebut ekranisasi, yang merupakan proses pelayar putihan yang mengacu pada fenomena transformasi atau perubahan rupa dari karya sastra “tulisan” ke film “audio visual”, yang di tayangkan di televisi maupun bioskop layar lebar. Sapardi Djoko Damono menyebutnya dengan istilah ‘alih wahana’. Dilihat dari cakupan materinya, alih wahana memang lebih luas dibandingkan ekranisasi. Alih wahana mencakup pengalihan karya seni dari satu wahana ke wahana lain.
Saputra, (2004) mengemukakan proses ekranisasi karya sastra (novel, cerpen puisi, atau karya literer lainnya), kedalam film atau (sinetron) merupakan proses reaktualisasi dari format bahasa tulis kedalam bahasa audio visual (gambar dan suara).
Dalam proses ekranisasi dari karya sastra ke dalam bentuk film akan didapati ketidaksesuaian “penyimpangan” dengan bentuk awalnya karya sastra “tulisan”, baik ketidaksesuaian yang disengaja atau tidak disengaja, atau bahkan penyimpangan yang terlalu jauh dari bentuk awalnya. Hal inilah yang menarik untuk diteliti, sejauh mana ketidaksesuaian itu terjadi dalam sebuah proses ekranisasi.
Sastra Lainnya
Kegiatan transformasi karya sastra kedalam bentuk film belakangan ini tidak saja dilakukan terhadap novel, tetapi juga cerpen. Diantara cerpen yang telah di filmkan adalah “Tentang Dia” karya Melly Goeslaw, dan “Mereka Bilang Saya Monyet”, karya Djenar Maesa Ayu, “Doa yang Mengancam”, karya Jujur Prananto, dan sebagainya.
Istilah transformasi karya sastra ke dalam bentuk film disebut ekranisasi, yang merupakan proses pelayar putihan yang mengacu pada fenomena transformasi atau perubahan rupa dari karya sastra “tulisan” ke film “audio visual”, yang di tayangkan di televisi maupun bioskop layar lebar. Sapardi Djoko Damono menyebutnya dengan istilah ‘alih wahana’. Dilihat dari cakupan materinya, alih wahana memang lebih luas dibandingkan ekranisasi. Alih wahana mencakup pengalihan karya seni dari satu wahana ke wahana lain.
Saputra, (2004) mengemukakan proses ekranisasi karya sastra (novel, cerpen puisi, atau karya literer lainnya), kedalam film atau (sinetron) merupakan proses reaktualisasi dari format bahasa tulis kedalam bahasa audio visual (gambar dan suara).
Dalam proses ekranisasi dari karya sastra ke dalam bentuk film akan didapati ketidaksesuaian “penyimpangan” dengan bentuk awalnya karya sastra “tulisan”, baik ketidaksesuaian yang disengaja atau tidak disengaja, atau bahkan penyimpangan yang terlalu jauh dari bentuk awalnya. Hal inilah yang menarik untuk diteliti, sejauh mana ketidaksesuaian itu terjadi dalam sebuah proses ekranisasi.
Sastra Lainnya
artikelnya bagus ..pingin juga buat cerpen yang bakalan jadi film :)
BalasHapussip..
BalasHapusgood postingannya mas..
sastra seperti hidup kembali sekarang
BalasHapuspendekatan yang dipakai untuk menganalisis transformasi yang seperti ini apa ya??
BalasHapus