Pengertian dan Kajian Semiotik
Aart Van Zoest mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda dan segala yang berhubungan dengannya. Karya sastra dengan keutuhannya secara semiotik dapat dipandang sebagai sebuah tanda. Sebagai suatu bentuk, karya sastra secara tertulis akan memiliki sifat kerungan. Dimensi ruang dan waktu dalam sebuah cerita rekaan mengandung tabiat tanda menanda yang menyiaratkan makna semiotik. Dari dua tataran (level) antara mimetik dan semiotik (atau tataran kebahasaan dan mistis) sebuah karya sastra menemukan keutuhannya untuk dipahami dan dihayati.
Karya sastra adalah seni yang banyak memanfaatkan simbol untuk mengungkapkan dunia bawah sadar agar kelihatan nyata dan lebih jelas, pengarang menggunakan kiasan-kiasan dan perlambang dalam ceritanya. Setiap peristiwa atau kejadian, juga kadang-kadang nama tokoh tidak disampaikan secara naturalistik dan realistik sebagaimana adanya, tetapi disampaikan secara figuratif dan perlambang. Jika kenyataannya seperti itu, maka jelaslah bahwa sastra (puisi ataupun cerita) telah berperan sebagai pemekat, sebagai karikatur dari kenyataan, dan sebagai pengalaman kehidupan, seperti yang diungkapakan Saini K.M. (1989:49).
Misalnya dalam cerpen “Hujan” karya Sutarji Calzoum Bachri ini telah mengisyaratkan sebuah personifikasi sifat-sifat manusia, yaitu pengungkapan hujan yang direfleksikan sebagai mahluk hidup khususnya manusia. Sutarji melukiskan hujan sebagai sahabat atau teman akrab. Hujan sebagai laki-laki yang dapat memanggil-manggil. Hujan yang mampu mendedahkan sastra, musik, nyanyi, atau tari. Hujan yang menyibak-nyibakkan tarian dan melentun anggun pada dahan, dan batang. Hal ini jelas merupakan bagian dari mahluk hidup khususnya manusia.
Cerpen Hujan karya Sutarji Calzoum Bachri ini dibuka dengan "hujan yang menggelitik pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di atap, dan membangunkan Ayesha, gadis enam belas tahun yang tadinya nyenyak di kamar." Jika dikaji lebih lagi, kata-kata yang digunakan Sutarji untuk melukiskan hujan begitu menyamai kelakuan manusia sebagai mahluk hidup.
Sebagai perlambang, Cerpen hujan karya sutarji Calzoum Bachri ini lebih kaya dengan nuansa-nuansa alam dengan pohon-pohonnya. Ini melukiskan kesejukan mengikat suasana. Barangkali pemakaian simbol-simbol yang dipaparkan dalam cerpen hujan tersebut, agar terlihat lebih bermakna, dan harus dikembalikan kepada realita kehidupan dengan alam, dimana karya dan pengarang itu hidup Ferdinaen Saragih.
*Santoso, Puji, 1993, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra, Bandung: Angkasa
Sastra Lainnya
Karya sastra adalah seni yang banyak memanfaatkan simbol untuk mengungkapkan dunia bawah sadar agar kelihatan nyata dan lebih jelas, pengarang menggunakan kiasan-kiasan dan perlambang dalam ceritanya. Setiap peristiwa atau kejadian, juga kadang-kadang nama tokoh tidak disampaikan secara naturalistik dan realistik sebagaimana adanya, tetapi disampaikan secara figuratif dan perlambang. Jika kenyataannya seperti itu, maka jelaslah bahwa sastra (puisi ataupun cerita) telah berperan sebagai pemekat, sebagai karikatur dari kenyataan, dan sebagai pengalaman kehidupan, seperti yang diungkapakan Saini K.M. (1989:49).
Misalnya dalam cerpen “Hujan” karya Sutarji Calzoum Bachri ini telah mengisyaratkan sebuah personifikasi sifat-sifat manusia, yaitu pengungkapan hujan yang direfleksikan sebagai mahluk hidup khususnya manusia. Sutarji melukiskan hujan sebagai sahabat atau teman akrab. Hujan sebagai laki-laki yang dapat memanggil-manggil. Hujan yang mampu mendedahkan sastra, musik, nyanyi, atau tari. Hujan yang menyibak-nyibakkan tarian dan melentun anggun pada dahan, dan batang. Hal ini jelas merupakan bagian dari mahluk hidup khususnya manusia.
Cerpen Hujan karya Sutarji Calzoum Bachri ini dibuka dengan "hujan yang menggelitik pepohonan di halaman, membasuh dahan, menggertap di atap, dan membangunkan Ayesha, gadis enam belas tahun yang tadinya nyenyak di kamar." Jika dikaji lebih lagi, kata-kata yang digunakan Sutarji untuk melukiskan hujan begitu menyamai kelakuan manusia sebagai mahluk hidup.
Sebagai perlambang, Cerpen hujan karya sutarji Calzoum Bachri ini lebih kaya dengan nuansa-nuansa alam dengan pohon-pohonnya. Ini melukiskan kesejukan mengikat suasana. Barangkali pemakaian simbol-simbol yang dipaparkan dalam cerpen hujan tersebut, agar terlihat lebih bermakna, dan harus dikembalikan kepada realita kehidupan dengan alam, dimana karya dan pengarang itu hidup Ferdinaen Saragih.
*Santoso, Puji, 1993, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra, Bandung: Angkasa
Sastra Lainnya
Posting Komentar untuk "Pengertian dan Kajian Semiotik"