Kritik Sastra Puisi dan Penguasa
“Pertanyaan di Stasiun Kereta” Wan Anwar"
Jika mahasiswa melakukan aksi protes terhadap penguasa di negeri ini, dengan turun ke jalan, seorang sastrawan mungkin akan melakukan aksinya dengan menuliskan dalam bentuk karya sastra, baik dalam bentuk puisi, prosa, ataupun drama. Artikel ini Pernah dimuat di kompas.com, 9 Februari 2010. Ditulis oleh Ferdinaen Saragih.
Sastrawan dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya tertentu, maka langsung atau tidak, keterpengaruhannya atas kondisi sekitar kerap mencuat begitu saja. Ia berada inheren dengan dirinya. Sastrawan sebagai anggota masyarakat, memang tidak dapat melepaskan diri dari faktor kemasyarakatan. Perilaku, etika, tata krama, norma, bahkan juga nilai-nilai moral yang berlaku dalam lingkungan sosial tertentu, kerap menjadi semacam perekat yang menyeret diri sastrawan.
Profesi apapun ke dalam tarik-menarik menjadi bagian dari segala sikap budaya itu, mengikutinya tanpa syarat sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat tradisional, melakukan pemberontakan sambil menawarkan nilai-nilai atau paradigma baru, atau ia melakukan kompromi-kompromi. Itulah aturan main ketika seseorang masuk dalam sebuah komunitas sosial-budaya tertentu. Posisi sastrawan dalam kehidupan sosial, kerap juga melakukan pemberontakan melalui gagasan-gagasan kreatifnya. Kalaupun ia melakukan sejumlah kompromi, pilihan itu diterima dan ditawarkan kembali sebagai reaksi kritis atas sejumlah hal yang mungkin disetujui atau tidak disetujuinya.
Peran sosial sastrawan sebatas itu. Justru dengan cara itu pula, sastrawan sedang mengekspresikan berbagai peristiwa individual itu menjadi bagian dari usaha memberikan sesuatu kepada masyarakatnya. Ia boleh jadi sedang melakukan proses membangun tugu peringatan atau monumen dirinya, tetapi sesungguhnya, ia sedang mengejawantahkan empati, simpati, antipati, bahkan juga kebencian dan sikap evaluatifnya atas sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar.
Telah lama kita menyaksikan cerita fiksi yang diperankan oleh penguasa-penguasa negri ini, Tapi sayang endingnya kurang menarik, Karena berakhir begitu saja, tanpa ada yang menang atau yang kalah. Tapi perlulah kita ketahui dampaknya tidak main-main, karena rakyat sendirilah yang merasakannya, dampaknya bukanlah sebuah fiksi, tapi kenyataan yang membuat masyarakat itu gelisah, hingga akirnya berbuah amarah.
Dalam konteks ini, puisi Wan Anwar yang berjudul “Pertanyaan Di Stasiun Kereta” (Pertemuan Kecil, Pikiran Rakyat, Minggu 29 November 2009) Puisi yang ditulisnya tahun 2005 dibangkitkan kembali. Hal ini merupakan sesuatu yang menarik untuk ditafsirkan sesuai dengan keadaan sekarang ini.
jika timur itu hari depan, mengapa laju kereta kembali ke masa silam
bahwa stasiun ini peninggalan residen, tentu saja kami tahu
juga deret pohon asam, irigasi, dan gedung-gedung pemerintahan
begitulah, bukankah tuan-tuan hanya sanggup membangun mall
jurang antara cahaya lampu kristal dan temaram perkampungan
kami hamba tuan-tuan, sudah lama bosan dalam penantian
tuan-tuan mengobral janji, mengganggu tidur dan mimpi kami
maka kini izinkan kami bertanya, peti-peti yang siang malam diangkut
kereta
milik siapa? kemilau lampu di jalan raya untuk siapa!
kami tahu tuan-tuan tak akan menjawab, karena tuan-tuan
sedang meluncur ke masa silam, jadi izinkan kami mendakwa
kami tak tahan lagi mendengar dan menyaksikan mulut tuan-tuan
berbusa, nganga, dan amat hina
Secara sruktural dalam sajak ini dipergunakan sarana-sarana kepuitisan untuk mendapatkan dan memperkuat efek secara bersama-sama, seperti dikemukakan Altenbernd (1970; 4-5) bahwa puisi mempergunakan sarana-sarana kepuitisan secara bersama-sama untuk mendapatkan jaringan efek sebanyak-banyaknya. Dalam sajak ini dipergunakan sarana-sarana kepuitisan di antaranya bahasa kiasan seperti yang telah terurai di atas dan dikombinasikan dengan corak kosa kata, citraan, sarana retorika, dan keselarasan bunyi yang semuanya itu seperti dikemukakan oleh Jakobson (1978: 358) bahwa bahasa puisi itu memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari proses.
Diawal, Penyair langsung menggebraknya dengan sebuah pertanyaan “jika timur itu hari depan, mengapa laju kereta kembali ke masa silam” hal ini membuat pembaca langsung tergugah untuk beranjak lagi pada baris ke dua hingga seterusnya, hingga pada baris terakhir. Hal ini diakibatkan karena antar baris tersebut saling berhubungan, hingga membentuk kalimat panjang.
“Mendengar dan menyaksikan mulut tuan-tuan berbusa, nganga, dan amat hina” Baris terakhir ini sangat menarik, dan nikmat untuk di dengar. Seperti penggunaan vokal “a” di akhir setiap kata.
Penggambaran Wan Anwar dalam puisi ini, mampu merangkum penantian masyarakat yang membosankan, atas janji-janji yang terlalu sering diucapkan oleh penguasa negri ini, tanpa harus melukiskannya pada simbol-simbol. Pilihan-pilihan kata yang sederhana inilah yang mampu, menggambarkan realitas, betapa para penguasa hanya menitipkan janji-janji semata saja, tanpa membuktikannya dalam sebuah kenyataan.
Konsistensi kepengarangan Wan Anwar yang secara sadar mampu merangkum pernyataan masyarakat, yang berangkat dari realitas. Pelukisan-pelukisan yang dituliskannya bersumber dari perenungannya, dari sebuah realita yang secara langsung disaksikan dan tidak hanya mengada-ngada.
Disinilah terlihat keberanian seorang Wan Anwar untuk memberontak kepada prilaku penguasa, yang dianggapnya tidak adil atau tidak berpihak kepada masyarakat kecil.
Puisi yang menggambarkan perlawanan terhadap penguasa sebelumnya juga telah banyak, seperti puisi W.S.Rendra “Sajak Pertemuan Mahasiswa, 1977”, Taufiq Ismail “Dari Catatan Seorang Demonstran”, Mansyur Samin “Pernyataan”, Wiji Thukul “Bunga dan Tembok, 1987-1988”, Joko Pinurbo “Tahanan Ranjang, 1999” dan lain-lain.
Dari Beberapa penyair tersebut, Wan Anwar memiliki gaya tersendiri dalam kreativitas kepenulisannya. Penggunaan bahasa yang sederhana, ringan tetapi mampu mengungkapkan sesuatu hal yang hendak ditujunya, sehingga pembaca awam, dapat merumuskan maknanya, dan secara langsung merasakan keinginan penyairnya.
Begitulah, sudah sejak lama sastrawan Indonesia begitu peduli tentang hubungan penguasa dengan masyarakatnya, dan kepedulian itu terlihat dari pernyataan-pernyataan yang di tuliskan maupun di lukiskan ke dalam sebuah puisi.
Sastra Lainnya
Jika mahasiswa melakukan aksi protes terhadap penguasa di negeri ini, dengan turun ke jalan, seorang sastrawan mungkin akan melakukan aksinya dengan menuliskan dalam bentuk karya sastra, baik dalam bentuk puisi, prosa, ataupun drama. Artikel ini Pernah dimuat di kompas.com, 9 Februari 2010. Ditulis oleh Ferdinaen Saragih.
Sastrawan dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya tertentu, maka langsung atau tidak, keterpengaruhannya atas kondisi sekitar kerap mencuat begitu saja. Ia berada inheren dengan dirinya. Sastrawan sebagai anggota masyarakat, memang tidak dapat melepaskan diri dari faktor kemasyarakatan. Perilaku, etika, tata krama, norma, bahkan juga nilai-nilai moral yang berlaku dalam lingkungan sosial tertentu, kerap menjadi semacam perekat yang menyeret diri sastrawan.
Profesi apapun ke dalam tarik-menarik menjadi bagian dari segala sikap budaya itu, mengikutinya tanpa syarat sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat tradisional, melakukan pemberontakan sambil menawarkan nilai-nilai atau paradigma baru, atau ia melakukan kompromi-kompromi. Itulah aturan main ketika seseorang masuk dalam sebuah komunitas sosial-budaya tertentu. Posisi sastrawan dalam kehidupan sosial, kerap juga melakukan pemberontakan melalui gagasan-gagasan kreatifnya. Kalaupun ia melakukan sejumlah kompromi, pilihan itu diterima dan ditawarkan kembali sebagai reaksi kritis atas sejumlah hal yang mungkin disetujui atau tidak disetujuinya.
Peran sosial sastrawan sebatas itu. Justru dengan cara itu pula, sastrawan sedang mengekspresikan berbagai peristiwa individual itu menjadi bagian dari usaha memberikan sesuatu kepada masyarakatnya. Ia boleh jadi sedang melakukan proses membangun tugu peringatan atau monumen dirinya, tetapi sesungguhnya, ia sedang mengejawantahkan empati, simpati, antipati, bahkan juga kebencian dan sikap evaluatifnya atas sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitar.
Telah lama kita menyaksikan cerita fiksi yang diperankan oleh penguasa-penguasa negri ini, Tapi sayang endingnya kurang menarik, Karena berakhir begitu saja, tanpa ada yang menang atau yang kalah. Tapi perlulah kita ketahui dampaknya tidak main-main, karena rakyat sendirilah yang merasakannya, dampaknya bukanlah sebuah fiksi, tapi kenyataan yang membuat masyarakat itu gelisah, hingga akirnya berbuah amarah.
Dalam konteks ini, puisi Wan Anwar yang berjudul “Pertanyaan Di Stasiun Kereta” (Pertemuan Kecil, Pikiran Rakyat, Minggu 29 November 2009) Puisi yang ditulisnya tahun 2005 dibangkitkan kembali. Hal ini merupakan sesuatu yang menarik untuk ditafsirkan sesuai dengan keadaan sekarang ini.
jika timur itu hari depan, mengapa laju kereta kembali ke masa silam
bahwa stasiun ini peninggalan residen, tentu saja kami tahu
juga deret pohon asam, irigasi, dan gedung-gedung pemerintahan
begitulah, bukankah tuan-tuan hanya sanggup membangun mall
jurang antara cahaya lampu kristal dan temaram perkampungan
kami hamba tuan-tuan, sudah lama bosan dalam penantian
tuan-tuan mengobral janji, mengganggu tidur dan mimpi kami
maka kini izinkan kami bertanya, peti-peti yang siang malam diangkut
kereta
milik siapa? kemilau lampu di jalan raya untuk siapa!
kami tahu tuan-tuan tak akan menjawab, karena tuan-tuan
sedang meluncur ke masa silam, jadi izinkan kami mendakwa
kami tak tahan lagi mendengar dan menyaksikan mulut tuan-tuan
berbusa, nganga, dan amat hina
Secara sruktural dalam sajak ini dipergunakan sarana-sarana kepuitisan untuk mendapatkan dan memperkuat efek secara bersama-sama, seperti dikemukakan Altenbernd (1970; 4-5) bahwa puisi mempergunakan sarana-sarana kepuitisan secara bersama-sama untuk mendapatkan jaringan efek sebanyak-banyaknya. Dalam sajak ini dipergunakan sarana-sarana kepuitisan di antaranya bahasa kiasan seperti yang telah terurai di atas dan dikombinasikan dengan corak kosa kata, citraan, sarana retorika, dan keselarasan bunyi yang semuanya itu seperti dikemukakan oleh Jakobson (1978: 358) bahwa bahasa puisi itu memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari proses.
Diawal, Penyair langsung menggebraknya dengan sebuah pertanyaan “jika timur itu hari depan, mengapa laju kereta kembali ke masa silam” hal ini membuat pembaca langsung tergugah untuk beranjak lagi pada baris ke dua hingga seterusnya, hingga pada baris terakhir. Hal ini diakibatkan karena antar baris tersebut saling berhubungan, hingga membentuk kalimat panjang.
“Mendengar dan menyaksikan mulut tuan-tuan berbusa, nganga, dan amat hina” Baris terakhir ini sangat menarik, dan nikmat untuk di dengar. Seperti penggunaan vokal “a” di akhir setiap kata.
Penggambaran Wan Anwar dalam puisi ini, mampu merangkum penantian masyarakat yang membosankan, atas janji-janji yang terlalu sering diucapkan oleh penguasa negri ini, tanpa harus melukiskannya pada simbol-simbol. Pilihan-pilihan kata yang sederhana inilah yang mampu, menggambarkan realitas, betapa para penguasa hanya menitipkan janji-janji semata saja, tanpa membuktikannya dalam sebuah kenyataan.
Konsistensi kepengarangan Wan Anwar yang secara sadar mampu merangkum pernyataan masyarakat, yang berangkat dari realitas. Pelukisan-pelukisan yang dituliskannya bersumber dari perenungannya, dari sebuah realita yang secara langsung disaksikan dan tidak hanya mengada-ngada.
Disinilah terlihat keberanian seorang Wan Anwar untuk memberontak kepada prilaku penguasa, yang dianggapnya tidak adil atau tidak berpihak kepada masyarakat kecil.
Puisi yang menggambarkan perlawanan terhadap penguasa sebelumnya juga telah banyak, seperti puisi W.S.Rendra “Sajak Pertemuan Mahasiswa, 1977”, Taufiq Ismail “Dari Catatan Seorang Demonstran”, Mansyur Samin “Pernyataan”, Wiji Thukul “Bunga dan Tembok, 1987-1988”, Joko Pinurbo “Tahanan Ranjang, 1999” dan lain-lain.
Dari Beberapa penyair tersebut, Wan Anwar memiliki gaya tersendiri dalam kreativitas kepenulisannya. Penggunaan bahasa yang sederhana, ringan tetapi mampu mengungkapkan sesuatu hal yang hendak ditujunya, sehingga pembaca awam, dapat merumuskan maknanya, dan secara langsung merasakan keinginan penyairnya.
Begitulah, sudah sejak lama sastrawan Indonesia begitu peduli tentang hubungan penguasa dengan masyarakatnya, dan kepedulian itu terlihat dari pernyataan-pernyataan yang di tuliskan maupun di lukiskan ke dalam sebuah puisi.
Sastra Lainnya
Posting Komentar untuk "Kritik Sastra Puisi dan Penguasa"