Cerpen Menjelma Pemimpin (bag 1)
Cerpen Menjelma Pemimpin
Sosok yang muncul tiba-tiba, mengingatkanku akan masa lalu pada sebuah kota senja. Sebuah rupa yang menggores dengan duka yang mendalam. Setiap kali aku menatap matanya, aku selalu melihat mangsa, yang akan kupotong-potong dan kuiris-iris lalu kubakar hingga menjadi debu.
Kepalanya berkilau jika diterpa mentari pagi, perutnya membengkak, bagaikan wanita hamil, gayanya parlente orisinal, dan aku sering bertemu dia di sudut malam ber-asik ria dengan perempuan jalang di sebuah kota, tapi beraninya dia membubuhi namanya pada kertas pemilu. “dia pikir aku akan mencontreng namanya?”
Penduduk desa selalu memberi hormat, jika bertemu dia di jalanan atau di balai desa saat dia memberi ceramah murahan. mungkin karena hartanya atau karena uang sogokan yang dia bagikan kepada penduduk desa seminggu yang lalu. warga desa ini memang belum tahu kebejatannya di setiap sudut malam, tentang kegemarannya menunggangi kuda liar.
“Seperti dia mau jadi pemimpin, Mau jadi apa desa ini?” Bayangan itu tidak sempat terlintas di benakku. “aku harus mencari cara supaya warga tahu siapa di sebenarnya.”
Pada acara kampanye kali ini, dia memotong seekor kerbau dan membagi-bagikannya kepada penduduk dan aku melihat dia berceramah lagi di atas podium balai desa. Tubuhnya yang bongsor dia condongkan kedepan, manahan beban perutnya yang semakin membengkak. “Dia berbicara perubahan. Tau apa dia tentang perubahan?”
“Den, lihat tu calon pemimpin kita, sudah sembilan bulan.” Ucapku sedikit mempengaruhi Deny. “Ssst... kamu ngomong sembarangan saja, kalau dia dengar bagaimana?”
“ah, persetan!” kataku menggerutu. “untung saja kau temanku, kalau tidak, bakalan saya adukan. Soalnya pak Narto itu bilang kalau ada penduduk yang tidak mendukungnya, supaya diberitahu kepanyanya, dan orang yang mengadukan itu akan di beri imbalan.”
“emanknya mau dia apain, di culik?”
“ya, mungkin saja!” ucap Deny santai. “hah? ini jaman reformasi Den” ucapku tersenyum. Rencanaku untuk mempengaruhi Deny sia-sia saja, sepertinya dia telah termakan omongan pak Narto, yang berjanji akan membangun desa ini. membangun apa? Sambil melihat hidung belang itu berceloteh. Omongannya bagaikan angin lalu saja, tapi penduduk desa tertegun mendengarnya mengubar janji-janji palsu.
Kupingku semakin panas saja mendengarnya berceramah di podium itu. Memang hari ini keberuntungan dia berkampanye, mempengaruhi penduduk desa ini, padahalkan sekarang musim hujan, tapi kenapa hujan tidak kunjung datang, Apa susahnya sih Tuhan mendatangkan hujan lebat? Supaya kucing garong itu diam, lalu pontang-panting mencari tempat teduh, dan penduduk desa kocar-kacir pulang kerumah masing-masing.
Apakah saya harus mengalah? Tapi kalau saya mengalah, berarti dia menang, kalau dia menang, berarti apa yang dikatakan orang-orang suci itu salah, mereka selalu bilang, yang benar itu selalu menang. “Ah, pergumulan hatiku semakin panas saja, padahal pak Narto itu biasa-biasa saja.” ucapku sambil meninggalkan kampanye itu.
“Ah sial, kenapa aku jadi sinting begini?”
Sekarang harapanku tinggal satu lagi, aku harus menemui pak RT dan memberitahu siapa sebenarnya pak Narto, kalau dia tau, dia pasti menyuruh penduduk untuk tidak memilihnya pada pemilu nanti, tapi apakah pak RT itu mau? Diakan sangat dekat dengan pak Narto, apalagi diakan bagian dari tim suksesnya. Sepertinya sangat kecil peluangnya, dia percaya dengan ucapanku tentang pak Narto.
Penduduk desa sudah bisa menebak siapa yang akan menang dalam pemilihan mendatang, padahalkan belum pemilu, kalau dipikir-pikir saingan pak Narto itu lebih berkualitas dan lebih dermawan, apalagi dia sudah pernah menjadi kepala desa, bukan seperti pak Narto, yang mendadak dermawan. anehnya penduduk desa begitu cepat melupakan jasa mantan kepala desa itu. hanya karena uang yang tak seberapa atau daging kerbau yang sepotong itu? Semuanya mereka lupakan, bahkan masa depan desa ini telah mereka perjual-belikan. Bersambung... Cerpen Menjelma Pemimpin (bag 2)
Cerpen Lainnya
Sosok yang muncul tiba-tiba, mengingatkanku akan masa lalu pada sebuah kota senja. Sebuah rupa yang menggores dengan duka yang mendalam. Setiap kali aku menatap matanya, aku selalu melihat mangsa, yang akan kupotong-potong dan kuiris-iris lalu kubakar hingga menjadi debu.
Kepalanya berkilau jika diterpa mentari pagi, perutnya membengkak, bagaikan wanita hamil, gayanya parlente orisinal, dan aku sering bertemu dia di sudut malam ber-asik ria dengan perempuan jalang di sebuah kota, tapi beraninya dia membubuhi namanya pada kertas pemilu. “dia pikir aku akan mencontreng namanya?”
Penduduk desa selalu memberi hormat, jika bertemu dia di jalanan atau di balai desa saat dia memberi ceramah murahan. mungkin karena hartanya atau karena uang sogokan yang dia bagikan kepada penduduk desa seminggu yang lalu. warga desa ini memang belum tahu kebejatannya di setiap sudut malam, tentang kegemarannya menunggangi kuda liar.
“Seperti dia mau jadi pemimpin, Mau jadi apa desa ini?” Bayangan itu tidak sempat terlintas di benakku. “aku harus mencari cara supaya warga tahu siapa di sebenarnya.”
Pada acara kampanye kali ini, dia memotong seekor kerbau dan membagi-bagikannya kepada penduduk dan aku melihat dia berceramah lagi di atas podium balai desa. Tubuhnya yang bongsor dia condongkan kedepan, manahan beban perutnya yang semakin membengkak. “Dia berbicara perubahan. Tau apa dia tentang perubahan?”
“Den, lihat tu calon pemimpin kita, sudah sembilan bulan.” Ucapku sedikit mempengaruhi Deny. “Ssst... kamu ngomong sembarangan saja, kalau dia dengar bagaimana?”
“ah, persetan!” kataku menggerutu. “untung saja kau temanku, kalau tidak, bakalan saya adukan. Soalnya pak Narto itu bilang kalau ada penduduk yang tidak mendukungnya, supaya diberitahu kepanyanya, dan orang yang mengadukan itu akan di beri imbalan.”
“emanknya mau dia apain, di culik?”
“ya, mungkin saja!” ucap Deny santai. “hah? ini jaman reformasi Den” ucapku tersenyum. Rencanaku untuk mempengaruhi Deny sia-sia saja, sepertinya dia telah termakan omongan pak Narto, yang berjanji akan membangun desa ini. membangun apa? Sambil melihat hidung belang itu berceloteh. Omongannya bagaikan angin lalu saja, tapi penduduk desa tertegun mendengarnya mengubar janji-janji palsu.
Kupingku semakin panas saja mendengarnya berceramah di podium itu. Memang hari ini keberuntungan dia berkampanye, mempengaruhi penduduk desa ini, padahalkan sekarang musim hujan, tapi kenapa hujan tidak kunjung datang, Apa susahnya sih Tuhan mendatangkan hujan lebat? Supaya kucing garong itu diam, lalu pontang-panting mencari tempat teduh, dan penduduk desa kocar-kacir pulang kerumah masing-masing.
Apakah saya harus mengalah? Tapi kalau saya mengalah, berarti dia menang, kalau dia menang, berarti apa yang dikatakan orang-orang suci itu salah, mereka selalu bilang, yang benar itu selalu menang. “Ah, pergumulan hatiku semakin panas saja, padahal pak Narto itu biasa-biasa saja.” ucapku sambil meninggalkan kampanye itu.
“Ah sial, kenapa aku jadi sinting begini?”
Sekarang harapanku tinggal satu lagi, aku harus menemui pak RT dan memberitahu siapa sebenarnya pak Narto, kalau dia tau, dia pasti menyuruh penduduk untuk tidak memilihnya pada pemilu nanti, tapi apakah pak RT itu mau? Diakan sangat dekat dengan pak Narto, apalagi diakan bagian dari tim suksesnya. Sepertinya sangat kecil peluangnya, dia percaya dengan ucapanku tentang pak Narto.
Penduduk desa sudah bisa menebak siapa yang akan menang dalam pemilihan mendatang, padahalkan belum pemilu, kalau dipikir-pikir saingan pak Narto itu lebih berkualitas dan lebih dermawan, apalagi dia sudah pernah menjadi kepala desa, bukan seperti pak Narto, yang mendadak dermawan. anehnya penduduk desa begitu cepat melupakan jasa mantan kepala desa itu. hanya karena uang yang tak seberapa atau daging kerbau yang sepotong itu? Semuanya mereka lupakan, bahkan masa depan desa ini telah mereka perjual-belikan. Bersambung... Cerpen Menjelma Pemimpin (bag 2)
Cerpen Lainnya
Posting Komentar untuk "Cerpen Menjelma Pemimpin (bag 1)"