Nirwana Laila Sebuah Cerpen (bag 2)
Sambungan Cerpen Nirwana Laila (bag 1). Suatu malam ibunya memergoki Laila sedang asik bermain. tapi ibunya heran, Laila hanya menghitung hujan, memeluk-meluk malam, dan berbicara seorang diri.
Begitu cerianya Laila. Begitu elok tubuhnya, raut wajahnya penuh cinta. Pemandangan itu membuat ibu Laila meneteskan air mata kebahagiaan. Karena, baru kali itu dia melihat anak semata wayangnya itu begitu ceria.
Sejak siang Laila belum juga makan. Dia begitu gelisah menunggui malam, tapi kali ini sahabatnya itu, entah masih di mana. Lailapun murung tak ketulungan. Telah dia kirimkan surat bersama angin yang berhembus ke langit, tapi angin juga tak kunjung tiba mengantarkan surat balasan dari malam.
Dia mulai berputar-putar di antara kegundahannya. ketika ia mencoba menutup mata, tidak juga dia menemukan sahabatnya. Dia hanya melihat cahaya yang sembrautan, hingga Laila tertidur, di atas kursi, menghadap jendela kamarnya.
Malam telah tiba, namun Laila telah terlelap. Laila begitu lelah, seharian dia menunggu malam, memikirkan malam. Malam menyibak rambut Laila penuh cinta. Sebenarnya malam masih merahasiakan sesuatu kepada Laila, namun malam resah untuk mengatakannya.
“Ketika Laila mengetahuinya, Mungkinkah Laila akan melupakannya dan meninggalkannya?” Tapi malam tak tega melihat teman sejatinya itu terlalu lama menemukan nirwana yang selalu diimpikannya.
Laila terbangun dari tidurnya. Dia menyaksikan malam telah berada di hadapannya. tapi Laila merasakan sesuatu, Merasakan kegundahan yang terlukis pada sahabatnya itu. Gerimis begitu redup, hingga tak terlihat genangan-genangan yang terpajang di tanah. Bahkan pepohonan yang merindukan hujanpun, masih kehausan.
“kesedihan apa yang telah bersamamu sahabatku” ucap Laila memulai percakapan. Percakapan Laila dan malam di mulai lagi. Tak ada yang dapat mengartikan percakapan itu kecuali Laila. Semuanya hanya tanda dan pertanda, yang ditujukan Laila, begitu halnya juga malam.
Gerimis telah berubah menjadi hujan yang garang. Genangan-genangan telah menjelma dimana-mana. Pohon-pohon menari-nari merayakan dahaga. Kesedihan malam telah menjelma kebahagiaan yang tiada tara.
Tiba-tiba saja pintu diketuk. Suasana kamar itu menjadi hening. Ternyata ibu Laila telah berada di depan pintu. Ibunya tak berkata apa-apa. Dia hanya mengajak Laila turun ke bawah, makan bersama. Ternyata ayah dan ibunya telah berjam-jam menunggu Laila di meja makan.
Selesai makan, ibu Laila mendekati putri semata wayangnya itu. Disibaknya rambutnya yang terurai diciuminya pipinya yang bening. Terlihat genangan-genangan yang mengalir di sela-sela keriput wajah ibunya. Begitu juga ayahnya yang dari tadi hanya diam. Lalu merekapun berpelukan.
“Nak, kamu persiapkan semua barang-barangmu. Mulai besok kamu akan tinggal bersama nenek di desa.” Ucap ibunya terbata-bata. Laila hanya tersenyum bahagia dan semakin erat memeluk ibunya.
Disepanjang perjalanan, Laila mulai bersahabat dengan siang. Semakin jauh dia tinggalkan perkotaan, semakin berkurang pula kebenciannya kepada siang. Diangkatnya tangannya, lalu diulurkannya kepada siang. menyimbolkan persahabatan.
Gemuruh kendaraan, suara yang ngorol-ngidul semakin tertinggal, lalu hilang ketika mereka tiba di suatu pedesaan. Sesampainya di depan rumah neneknya, begitu cerianya Laila. Begitu elok tubuhnya, raut wajahnya penuh cinta. Alam pedesaan menyambut kedatangan bidadari itu penuh kekhusukan.
Kini Laila telah mencintai siang, telah bersahabat dengan siang. Nirwana yang diimpikannya telah terhampar dihadapannya. Persawahan dan perbukitan nirwana yang selalu diceritakan malam kepada Laila.
Ketika siang dan malam bertemu pada suatu persinggahan sore. Mereka bersama-sama bernyanyi, menari, di atas nirwana impian Laila. Kini Tak ada lagi resah, kebencian, yang mengambang dibenaknya Ferdinaen Saragih (2009-2011: Bandung).
Cerpen Lainnya
Begitu cerianya Laila. Begitu elok tubuhnya, raut wajahnya penuh cinta. Pemandangan itu membuat ibu Laila meneteskan air mata kebahagiaan. Karena, baru kali itu dia melihat anak semata wayangnya itu begitu ceria.
Sejak siang Laila belum juga makan. Dia begitu gelisah menunggui malam, tapi kali ini sahabatnya itu, entah masih di mana. Lailapun murung tak ketulungan. Telah dia kirimkan surat bersama angin yang berhembus ke langit, tapi angin juga tak kunjung tiba mengantarkan surat balasan dari malam.
Dia mulai berputar-putar di antara kegundahannya. ketika ia mencoba menutup mata, tidak juga dia menemukan sahabatnya. Dia hanya melihat cahaya yang sembrautan, hingga Laila tertidur, di atas kursi, menghadap jendela kamarnya.
Malam telah tiba, namun Laila telah terlelap. Laila begitu lelah, seharian dia menunggu malam, memikirkan malam. Malam menyibak rambut Laila penuh cinta. Sebenarnya malam masih merahasiakan sesuatu kepada Laila, namun malam resah untuk mengatakannya.
“Ketika Laila mengetahuinya, Mungkinkah Laila akan melupakannya dan meninggalkannya?” Tapi malam tak tega melihat teman sejatinya itu terlalu lama menemukan nirwana yang selalu diimpikannya.
Laila terbangun dari tidurnya. Dia menyaksikan malam telah berada di hadapannya. tapi Laila merasakan sesuatu, Merasakan kegundahan yang terlukis pada sahabatnya itu. Gerimis begitu redup, hingga tak terlihat genangan-genangan yang terpajang di tanah. Bahkan pepohonan yang merindukan hujanpun, masih kehausan.
“kesedihan apa yang telah bersamamu sahabatku” ucap Laila memulai percakapan. Percakapan Laila dan malam di mulai lagi. Tak ada yang dapat mengartikan percakapan itu kecuali Laila. Semuanya hanya tanda dan pertanda, yang ditujukan Laila, begitu halnya juga malam.
Gerimis telah berubah menjadi hujan yang garang. Genangan-genangan telah menjelma dimana-mana. Pohon-pohon menari-nari merayakan dahaga. Kesedihan malam telah menjelma kebahagiaan yang tiada tara.
Tiba-tiba saja pintu diketuk. Suasana kamar itu menjadi hening. Ternyata ibu Laila telah berada di depan pintu. Ibunya tak berkata apa-apa. Dia hanya mengajak Laila turun ke bawah, makan bersama. Ternyata ayah dan ibunya telah berjam-jam menunggu Laila di meja makan.
Selesai makan, ibu Laila mendekati putri semata wayangnya itu. Disibaknya rambutnya yang terurai diciuminya pipinya yang bening. Terlihat genangan-genangan yang mengalir di sela-sela keriput wajah ibunya. Begitu juga ayahnya yang dari tadi hanya diam. Lalu merekapun berpelukan.
“Nak, kamu persiapkan semua barang-barangmu. Mulai besok kamu akan tinggal bersama nenek di desa.” Ucap ibunya terbata-bata. Laila hanya tersenyum bahagia dan semakin erat memeluk ibunya.
Disepanjang perjalanan, Laila mulai bersahabat dengan siang. Semakin jauh dia tinggalkan perkotaan, semakin berkurang pula kebenciannya kepada siang. Diangkatnya tangannya, lalu diulurkannya kepada siang. menyimbolkan persahabatan.
Gemuruh kendaraan, suara yang ngorol-ngidul semakin tertinggal, lalu hilang ketika mereka tiba di suatu pedesaan. Sesampainya di depan rumah neneknya, begitu cerianya Laila. Begitu elok tubuhnya, raut wajahnya penuh cinta. Alam pedesaan menyambut kedatangan bidadari itu penuh kekhusukan.
Kini Laila telah mencintai siang, telah bersahabat dengan siang. Nirwana yang diimpikannya telah terhampar dihadapannya. Persawahan dan perbukitan nirwana yang selalu diceritakan malam kepada Laila.
Ketika siang dan malam bertemu pada suatu persinggahan sore. Mereka bersama-sama bernyanyi, menari, di atas nirwana impian Laila. Kini Tak ada lagi resah, kebencian, yang mengambang dibenaknya Ferdinaen Saragih (2009-2011: Bandung).
Cerpen Lainnya
cerita yg enak sob...
BalasHapussaya menunggu cerita selanjutnya