Cerita Pendek: Puisi untuk Benari II
Cerita Pendek: Puisi untuk Benari II
***
Pagi yang melelahkan, aku masih saja tertidur, dibangunkan oleh suara handphonku.
“Nak ibu tadi sudah baca Koran, kamu lulus SPMB.” aku kaget, kenapa jadi ibu yang duluan tahu, kulihat jam, ternyata sudah jam sepuluh pagi, aku sadar kalau kedua orangtuaku selalu baca Koran setiap pagi.
Tanpa banyak berpikir aku langsung bersujut kepada Tuhan, mengungkapkan rasa terimakasihku kepadaNya. Tak lama lagi aku pasti bisa menulis puisi untuk Benari. Itulah harapan yang pertama ada di benakku.
Memasuki minggu pertama ke Kampus memang sangat melelahkan, dimana semua Mahasiswa baru, harus mengikuti perploncoan yang dilakukan oleh kakak senior. Perasaanku sangat berbeda ketika masa plonco, aku merasa senang. mengikuti berbagai permainan dan berkenalan dengan teman-teman baru. Rasa rinduku kepada Benari terasa berkurang, namun seminggu begitu cepat berlalu. Aku kembali lagi dalam kesedihanku, mengingat Benari dan dihantui rasa bersalah.
Hari ini aku pertama memasuki hari kuliah, dimana semua Dosen memperkenalkan dirinya kepada mahasiswa baru. banyak nasehat-nasehat yang diberikan oleh setiap Dosen, menyadarkanku supaya bangkit dari keterpurukan ini. Tapi bersifatnya hanya sementara.
Di kosan, aku sering merenung, mengurung diri dan hanyut dalam kesedihan. Sekarang aku sadar, begitu besar cintaku untuk Benari, padahal dulu aku tak pernah memikirkan hal itu. aku berhubungan dengan Benari, supaya aku kelihatan hebat dihadapan teman-teman. tapi cinta Benari begitu berbeda, dia bisa menerimaku apa adanya, walaupun dia tau, aku hanya biang masalah di sekolah.
Hari ini, seorang teman yang kukenal waktu perploncoan kemarin berkunjung ke kosanku. Dia begitu asik di ajak bicara, hal itulah yang membuatku menceritakan semua kesedihanku padanya.
“Kamu kenapa? sepertinya kamu sedih, kamu ada masalah?” Aku diam sejenak.
“kamu cerita saja, mungkin aku bisa Bantu!”
“Sebenarnya aku kangen!”
“Sama siapa, orang tuamu? Barusan juga kamu di bandung, udah kangen gitu.”
“Bukan, aku kangen sama pacarku.”
“Ya telepon atu!”
“Dia sudah meninggal setengah tahun yang lalu. dia meninggal karena kecelakaan, itu salahku, aku yang membuat semuanya itu terjadi.”
“Kok bisa ?”
“Waktu itu, di kotaku ada sebuah konser. aku ajak dia, namanya Benari. Dengan keadaan mabuk aku naik motor bersamanya, tiba-tiba sebuah mobil truk muncul di hadapanku, dengan keras kubanting stang ke kiri, tubuh benari terhimpit diantara truk dan motor, kepalanya terbanting ke truk itu. Setelah itu aku tidak tau apa-apa lagi, karena pada saat itu aku tak sadarkan diri, kepalaku terbanting, dan beberapa hari koma di rumah sakit. Setelah aku sadar. aku tanya kepada kedua orang tuaku tentang Benari. Ayah bilang Benari sudah meninggal, dan telah disemayamkan dua hari yang lalu. setelah kejadian itu, aku menjadi orang pemurung dan selalu merasa bersalah kepada Benari, begitu juga kepada kedua orang tuanya.”
“Sory bro, aku nggak tahu tentang masa lalumu, tapi kamu jangan terlalu sedih. itu sudah takdir untukmu dan Benari. kamu pandang ke depan, masa depan kamu masih panjang, Benari akan lebih sedih melihatmu terus begini.”
“Thanks bro”
“Ya udah aku pulang dulu!”
“Ok bro.”
Kata-kata Almauki tadi membuatku semakin semangat jalani hidup ini, aku tak ingin Benari juga ikut sedih. Aku harus bangkit dari masa lalu, lagi pula kedepan yang kuhadapi bukan masa lalu tapi masa depan.
Sepulang kuliah, Almauki langsung menarik tanganku, dia membawaku ke taman kampus, disana dia mengenalkanku pada seorang wanita.
Hai, kenalkan namaku sem! kuperkenalkan diriku kepada wanita itu dengan menjabat tangannya, Tapi aku heran dia hanya senyum, kuulang lagi menyebutkan namaku, tapi sama saja, dia hanya membalasnya dengan senyuman.
Tumbur langsung menarik tanganku, menarikku agak ke belakang, dia berbisik kepadaku.
“Sem, Dia itu tuli dan bisu. Mukaku langsung merah oleh rasa malu.”
“Kenapa nggak bilang?“
kami menemui Meri lagi, kami berkomunikasi menggunakan tulisan, kadang juga mengunakan gerakan, semua kata-kata yang ingin kami ucapkan kami tulis pada sebuah kertas.
Dari sifat dan senyumannya, semuanya sama persis dengan Benari, beberapa lama kami berkomunikasi dengan tulisan, aku merasa seperti bersama Benari. Hari yang semakin gelap, akhirnya kami menyudahi pertemuan itu.
Di perjalanan, Tumbur senyum jika melihatku, aku juga tak tau apa maksudnya.
“Bro, kenapa sih kamu kenalkan aku dengan dia?”
“Aku hanya memberimu pandangan, supaya kamu bisa bangkit dari masa lalu, kamu sudah lihatkan Meri, dia itu bisu, tuli lagi. tapi dia masih punya semangat, dia pantang menyerah. Beda sama kamu.”
“Terimakasih untuk semuanya bro, aku berjanji, aku akan berubah dan jalani hidup ini kedepan.
“ya, namanya juga teman.”
Setiba dikosan aku masih teringat kepada cewek tadi. Senyumnya, lesung pipinya sama persis dengan Benari, sayang saja dia bisu. aku masih heran dengan perjuangannya, dia sepertinya selalu senang jalani hidup ini. senyum dan kelembutannya, membuat dia selalu indah dipandang.
Selengkapnya
***
Pagi yang melelahkan, aku masih saja tertidur, dibangunkan oleh suara handphonku.
“Nak ibu tadi sudah baca Koran, kamu lulus SPMB.” aku kaget, kenapa jadi ibu yang duluan tahu, kulihat jam, ternyata sudah jam sepuluh pagi, aku sadar kalau kedua orangtuaku selalu baca Koran setiap pagi.
Tanpa banyak berpikir aku langsung bersujut kepada Tuhan, mengungkapkan rasa terimakasihku kepadaNya. Tak lama lagi aku pasti bisa menulis puisi untuk Benari. Itulah harapan yang pertama ada di benakku.
Memasuki minggu pertama ke Kampus memang sangat melelahkan, dimana semua Mahasiswa baru, harus mengikuti perploncoan yang dilakukan oleh kakak senior. Perasaanku sangat berbeda ketika masa plonco, aku merasa senang. mengikuti berbagai permainan dan berkenalan dengan teman-teman baru. Rasa rinduku kepada Benari terasa berkurang, namun seminggu begitu cepat berlalu. Aku kembali lagi dalam kesedihanku, mengingat Benari dan dihantui rasa bersalah.
Hari ini aku pertama memasuki hari kuliah, dimana semua Dosen memperkenalkan dirinya kepada mahasiswa baru. banyak nasehat-nasehat yang diberikan oleh setiap Dosen, menyadarkanku supaya bangkit dari keterpurukan ini. Tapi bersifatnya hanya sementara.
Di kosan, aku sering merenung, mengurung diri dan hanyut dalam kesedihan. Sekarang aku sadar, begitu besar cintaku untuk Benari, padahal dulu aku tak pernah memikirkan hal itu. aku berhubungan dengan Benari, supaya aku kelihatan hebat dihadapan teman-teman. tapi cinta Benari begitu berbeda, dia bisa menerimaku apa adanya, walaupun dia tau, aku hanya biang masalah di sekolah.
Hari ini, seorang teman yang kukenal waktu perploncoan kemarin berkunjung ke kosanku. Dia begitu asik di ajak bicara, hal itulah yang membuatku menceritakan semua kesedihanku padanya.
“Kamu kenapa? sepertinya kamu sedih, kamu ada masalah?” Aku diam sejenak.
“kamu cerita saja, mungkin aku bisa Bantu!”
“Sebenarnya aku kangen!”
“Sama siapa, orang tuamu? Barusan juga kamu di bandung, udah kangen gitu.”
“Bukan, aku kangen sama pacarku.”
“Ya telepon atu!”
“Dia sudah meninggal setengah tahun yang lalu. dia meninggal karena kecelakaan, itu salahku, aku yang membuat semuanya itu terjadi.”
“Kok bisa ?”
“Waktu itu, di kotaku ada sebuah konser. aku ajak dia, namanya Benari. Dengan keadaan mabuk aku naik motor bersamanya, tiba-tiba sebuah mobil truk muncul di hadapanku, dengan keras kubanting stang ke kiri, tubuh benari terhimpit diantara truk dan motor, kepalanya terbanting ke truk itu. Setelah itu aku tidak tau apa-apa lagi, karena pada saat itu aku tak sadarkan diri, kepalaku terbanting, dan beberapa hari koma di rumah sakit. Setelah aku sadar. aku tanya kepada kedua orang tuaku tentang Benari. Ayah bilang Benari sudah meninggal, dan telah disemayamkan dua hari yang lalu. setelah kejadian itu, aku menjadi orang pemurung dan selalu merasa bersalah kepada Benari, begitu juga kepada kedua orang tuanya.”
“Sory bro, aku nggak tahu tentang masa lalumu, tapi kamu jangan terlalu sedih. itu sudah takdir untukmu dan Benari. kamu pandang ke depan, masa depan kamu masih panjang, Benari akan lebih sedih melihatmu terus begini.”
“Thanks bro”
“Ya udah aku pulang dulu!”
“Ok bro.”
Kata-kata Almauki tadi membuatku semakin semangat jalani hidup ini, aku tak ingin Benari juga ikut sedih. Aku harus bangkit dari masa lalu, lagi pula kedepan yang kuhadapi bukan masa lalu tapi masa depan.
Sepulang kuliah, Almauki langsung menarik tanganku, dia membawaku ke taman kampus, disana dia mengenalkanku pada seorang wanita.
Hai, kenalkan namaku sem! kuperkenalkan diriku kepada wanita itu dengan menjabat tangannya, Tapi aku heran dia hanya senyum, kuulang lagi menyebutkan namaku, tapi sama saja, dia hanya membalasnya dengan senyuman.
Tumbur langsung menarik tanganku, menarikku agak ke belakang, dia berbisik kepadaku.
“Sem, Dia itu tuli dan bisu. Mukaku langsung merah oleh rasa malu.”
“Kenapa nggak bilang?“
kami menemui Meri lagi, kami berkomunikasi menggunakan tulisan, kadang juga mengunakan gerakan, semua kata-kata yang ingin kami ucapkan kami tulis pada sebuah kertas.
Dari sifat dan senyumannya, semuanya sama persis dengan Benari, beberapa lama kami berkomunikasi dengan tulisan, aku merasa seperti bersama Benari. Hari yang semakin gelap, akhirnya kami menyudahi pertemuan itu.
Di perjalanan, Tumbur senyum jika melihatku, aku juga tak tau apa maksudnya.
“Bro, kenapa sih kamu kenalkan aku dengan dia?”
“Aku hanya memberimu pandangan, supaya kamu bisa bangkit dari masa lalu, kamu sudah lihatkan Meri, dia itu bisu, tuli lagi. tapi dia masih punya semangat, dia pantang menyerah. Beda sama kamu.”
“Terimakasih untuk semuanya bro, aku berjanji, aku akan berubah dan jalani hidup ini kedepan.
“ya, namanya juga teman.”
Setiba dikosan aku masih teringat kepada cewek tadi. Senyumnya, lesung pipinya sama persis dengan Benari, sayang saja dia bisu. aku masih heran dengan perjuangannya, dia sepertinya selalu senang jalani hidup ini. senyum dan kelembutannya, membuat dia selalu indah dipandang.
Selengkapnya
Posting Komentar untuk "Cerita Pendek: Puisi untuk Benari II"