Cerita Pendek: Puisi untuk Benari I
Cerita Pendek: Puisi untuk Benari I
Separuh hatiku masih saja larut dalam kematian Benari. tak dapat kuhilangkan rasa bersalah atas kepergiannya yang begitu cepat. Sepertinya embun hanya bersisah tetesan yang basah. Rasa sedih, itulah selalu kubawa dalam setiap detik-detik perjalanan hidup ini.
Pengumuman kelulusan sekolah sudah berada di tangan kedua orangtuaku, sepertinya mereka tak sabar membuka amplop yang berisikan dua pilihan itu, lulus atau tidak lulus. Aku sendiri, sedikitpun tidak peduli tentang hal itu.
“Kamu lulus Nak!” Ibu tersenyum dihadapanku, dia sangat senang mengetahui kelulusanku, karena pada awalnya mereka tak pernah percaya, aku dapat lulus, dengan tepat waktu. Mungkin itu karena sikap brutalku di sekolah. Dulu mereka sering di panggil guru BP, dan memohon supaya aku tidak dikeluarkan dari sekolah.
Kelulusan itu tak berarti apa-apa, tanpa sosok Benari yang selalu menemaniku. Ayah dan ibu sekarang sudah berencana mengirimku ke pulau jawa, melanjutkan sekolahku ke tahap yang lebih tinggi, meraih gelar sarjana. Aku sendiri belum mengetahui hendak kuliah dimana. mengenai itu, sedikitpun tidak terpikirkan olehku.
Malam dan siang begitu pengap bersama kekeruhan dihati. aku hanya bisa mengingat dan membayangkan sosok Benari. memutar waktu, hingga teringat suatu janji. jika kami lulus nanti, kami akan kuliah pada Universitas yang sama. Ingatan tentang memori itu membuat hatiku semakin pilu. Seandainya Tuhan memberiku suatu kesempatan untuk bersama Benari, aku berjanji akan menjaganya dan tak membiarkan kejadian mengerikan itu terjadi.
Siang itu aku beranjak pergi ke makam Benari, berharap rindu itu dapat sedikit terobati. Aku menangis dihadapan makam Benari, memohon kepada Tuhan agar benari diterima disisinya. Aku berjanji dihadapan makam Benari, aku akan menjadi orang yang berhasil seperti yang pernah kami bayangkan sebelumnya.
Sepulang dari makam benari, ibu telah menungguku di ambang pintu. Ibu sepertinya ingin menyampaikan sesuatu untukku.
“Nak, lusa kamu harus pergi ke Bandung, karena minggu depan SPMB akan dilaksanakan, Bapak dan ibu sudah sepakat, disana kamu ambil jurusan Akuntansi, kamu harus menjadi seorang Akuntan, yang akan menggantikan Bapak sebagai pemimpin perusahaan kita.“ ucap ibu.
Aku hanya mengangguk setuju, walau aku belum pernah memikirkan ingin jadi apa nantinya. Malam itu aku benar-benar tidak mampu untuk memejamkan mataku, otakku semakin berpikir apakah aku memang cocok jadi Akuntan, apakah aku memiliki bakat untuk itu? Semua pertanyaan itu menemani malamku, suasana hati yang keruh, membutku semakin hampa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Sejenak kupandang lagi foto Benari yang selalu kutaruh dalam dompetku, aku teringat suatu permintaan Benari yang tak pernah bisa kuberikan, yaitu untayan-untayan puisi. Jujur aku tak bisa menuliskan sebuah puisi, walau hanya sebait.
Aku teringat kembali wajah guru Bahasa Indonesiaku, dia selalu menuliskan keadaan hatinya dalam untayan puisi. Malam ini aku sudah menemukan jawabannya, besok pagi aku akan memohon kepada Orangtuaku, Mengenai jurusan yang akan kupilih.
Pagi itu aku langsung menemui ibu, kebetulan ibu sedang memasak, setelah aku menceritakan keinginanku, ibu marah. aku mencoba menjelaskan kepada Ibu sekali lagi, tapi tetap saja ibu tidak setuju.
“ aku tidak berminat menjadi Akuntan, aku ingin jadi Penulis.” pintaku
“Ya udah, nanti kita bicarakan bersama ayahmu, Ibu mohon kamu pikirkan tentang pilihanmu itu, jangan sampai kamu menyesal.” Ucap ibu. Aku begitu senang jika keputusan di tangan ayah, karena dia selalu menuruti apa keinginanku. Ternyata ayah sudah berada di belakangku.
“Nak, Walaupun ayah dan ibu sangat berharap, kamu memilih jurusan Akuntansi, ayah tidak akan memaksakan hal itu, Bapak memberimu kebebasan, mengenai jurusan yang akan kamu pilih, karena itu menyangkut masa depanmu.”
Mungkin Ibu tidak setuju terhadap jawaban Ayah, tapi dia tidak berani untuk menolak, karena dia harus melawan dua orang sekaligus, yaitu aku dan Ayah. Aku berjanji kepada Ibu, suatu saat nanti aku akan membuat dia bangga terhadapku.
Esok harinya aku berangkat ke Bandung, untuk mengikuti SPMB. Aku sangat berharap, bisa lulus di Universitas yang kupilih.
Selengkapnya
Separuh hatiku masih saja larut dalam kematian Benari. tak dapat kuhilangkan rasa bersalah atas kepergiannya yang begitu cepat. Sepertinya embun hanya bersisah tetesan yang basah. Rasa sedih, itulah selalu kubawa dalam setiap detik-detik perjalanan hidup ini.
Pengumuman kelulusan sekolah sudah berada di tangan kedua orangtuaku, sepertinya mereka tak sabar membuka amplop yang berisikan dua pilihan itu, lulus atau tidak lulus. Aku sendiri, sedikitpun tidak peduli tentang hal itu.
“Kamu lulus Nak!” Ibu tersenyum dihadapanku, dia sangat senang mengetahui kelulusanku, karena pada awalnya mereka tak pernah percaya, aku dapat lulus, dengan tepat waktu. Mungkin itu karena sikap brutalku di sekolah. Dulu mereka sering di panggil guru BP, dan memohon supaya aku tidak dikeluarkan dari sekolah.
Kelulusan itu tak berarti apa-apa, tanpa sosok Benari yang selalu menemaniku. Ayah dan ibu sekarang sudah berencana mengirimku ke pulau jawa, melanjutkan sekolahku ke tahap yang lebih tinggi, meraih gelar sarjana. Aku sendiri belum mengetahui hendak kuliah dimana. mengenai itu, sedikitpun tidak terpikirkan olehku.
Malam dan siang begitu pengap bersama kekeruhan dihati. aku hanya bisa mengingat dan membayangkan sosok Benari. memutar waktu, hingga teringat suatu janji. jika kami lulus nanti, kami akan kuliah pada Universitas yang sama. Ingatan tentang memori itu membuat hatiku semakin pilu. Seandainya Tuhan memberiku suatu kesempatan untuk bersama Benari, aku berjanji akan menjaganya dan tak membiarkan kejadian mengerikan itu terjadi.
Siang itu aku beranjak pergi ke makam Benari, berharap rindu itu dapat sedikit terobati. Aku menangis dihadapan makam Benari, memohon kepada Tuhan agar benari diterima disisinya. Aku berjanji dihadapan makam Benari, aku akan menjadi orang yang berhasil seperti yang pernah kami bayangkan sebelumnya.
Sepulang dari makam benari, ibu telah menungguku di ambang pintu. Ibu sepertinya ingin menyampaikan sesuatu untukku.
“Nak, lusa kamu harus pergi ke Bandung, karena minggu depan SPMB akan dilaksanakan, Bapak dan ibu sudah sepakat, disana kamu ambil jurusan Akuntansi, kamu harus menjadi seorang Akuntan, yang akan menggantikan Bapak sebagai pemimpin perusahaan kita.“ ucap ibu.
Aku hanya mengangguk setuju, walau aku belum pernah memikirkan ingin jadi apa nantinya. Malam itu aku benar-benar tidak mampu untuk memejamkan mataku, otakku semakin berpikir apakah aku memang cocok jadi Akuntan, apakah aku memiliki bakat untuk itu? Semua pertanyaan itu menemani malamku, suasana hati yang keruh, membutku semakin hampa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Sejenak kupandang lagi foto Benari yang selalu kutaruh dalam dompetku, aku teringat suatu permintaan Benari yang tak pernah bisa kuberikan, yaitu untayan-untayan puisi. Jujur aku tak bisa menuliskan sebuah puisi, walau hanya sebait.
Aku teringat kembali wajah guru Bahasa Indonesiaku, dia selalu menuliskan keadaan hatinya dalam untayan puisi. Malam ini aku sudah menemukan jawabannya, besok pagi aku akan memohon kepada Orangtuaku, Mengenai jurusan yang akan kupilih.
Pagi itu aku langsung menemui ibu, kebetulan ibu sedang memasak, setelah aku menceritakan keinginanku, ibu marah. aku mencoba menjelaskan kepada Ibu sekali lagi, tapi tetap saja ibu tidak setuju.
“ aku tidak berminat menjadi Akuntan, aku ingin jadi Penulis.” pintaku
“Ya udah, nanti kita bicarakan bersama ayahmu, Ibu mohon kamu pikirkan tentang pilihanmu itu, jangan sampai kamu menyesal.” Ucap ibu. Aku begitu senang jika keputusan di tangan ayah, karena dia selalu menuruti apa keinginanku. Ternyata ayah sudah berada di belakangku.
“Nak, Walaupun ayah dan ibu sangat berharap, kamu memilih jurusan Akuntansi, ayah tidak akan memaksakan hal itu, Bapak memberimu kebebasan, mengenai jurusan yang akan kamu pilih, karena itu menyangkut masa depanmu.”
Mungkin Ibu tidak setuju terhadap jawaban Ayah, tapi dia tidak berani untuk menolak, karena dia harus melawan dua orang sekaligus, yaitu aku dan Ayah. Aku berjanji kepada Ibu, suatu saat nanti aku akan membuat dia bangga terhadapku.
Esok harinya aku berangkat ke Bandung, untuk mengikuti SPMB. Aku sangat berharap, bisa lulus di Universitas yang kupilih.
Selengkapnya
Posting Komentar untuk "Cerita Pendek: Puisi untuk Benari I"