Puisi Media Massa 4
Dimuat di Seputar Indonesia, 22 Maret 2009
Madu Setengah Jadi
Pada akhirnya aku kembali lagi
Diatas pulau bermain layaknya dulu
Sayang kau rogoh saku
Tak ada yang kubawa dalam kantong
Datar. Perut yang kuisi sepuluh tahun silam
Masih tersisa darah di serupa ranting
Kering peninggalan
Jangan kau sayangkan waktu kepergian
Telah banyak kujilat tanah
Untuk kumuntahkan di pulau ini
Serupa kotoran musang
Dipelataran kebun kopi kita dulu
Berisi biji kopi unggul
lalu kubuat madu itu menjadi-jadi
Setia Budhi, 2009
Kehilangan
Kalong telah menjatuhkan
buah pada rumput
Semutlah yang berkerumun menikmati
Begitu pula kau
Telah kujatuhkan pada daratan
bukan punyaku
Sedihku beku diantara hari lalu
Kala hujan
Panas terik
aku tak lagi atapmu
Kutahu kesunyian bersamaku
Disela kesalahan
Sampai merenggutmu dariku
Serupa mutiara Yang kubuang
Di samudera lalu
Bandung, 2009
Bingkisan Hujan
Hujan membukakan lama tak kupunya
Kehangatan mata diiklaskan dalam gerimis
Selembut dentingan dia rebahkan
Sebuah laut dalam mata yang kedinginan
Hujan mengembalikan yang lama hilang
Melukis sebuah raga menawan tubuh
Seelok angin di sela terik mentari
Kubungkam keheningan suara
Kuhancurkan wajah memudar
Bersamanya aku menimbun gema
Terbang layaknya sepasang kupu-kupu
UPI, 2009
Perang
Diantara rumah dan tembok sunyi
Kau lontarkan gemersik peluru
Semua keras
Bersemayam dalam ketidakberdayaan
Haruskah kematian mengetuk pintumu
Haruskah kematian mengutuk jiwamu
Keegoisan telah mengubahmu
Menjadi hakim kematian
Mencuri hak Tuhan
Yang kutahu berabad-abad silam
Setia Budhi, 2009
Kusta dan Sajak
Bersabung gelisah di dadaku lama
Organ yang lama kupakai menconteng-conteng kata
Bersuara tanpa lelah di media-media
Meleleh habis oleh kusta yang lama tertanam
Serupa gulma di tanah subur
Bukankah tanganku serupa air di antara kemarau
Lalu daun-daun tumbuh tanpa kerontang
Hingga hati tak terbakar oleh api dunia
Sungguh aku tak dapat lagi membajak sawah
Mengukir patung, bahkan menulis sajak
Layaknya semusim lalu
Tinggal menunggu kemusnahan raga
Yang tak kutahu kapan
Bandung, 2009
Duka dan Bahagia
;Tua Gatuh
Adakah terang setelah gelap Begitu pagi setelah
Malam, dukaku terlalu berat
Tak terjamah olehku
Apakah lusa dukaku bahagia
Embun itu telah beranjak dan berhenti menetes
Dunianya telah berbeda, embun itu
Tak akan menetes lagi ucap mereka
Aku telah lama sadar akan manusia
Mengimaninya layaknya Tuhan
Kini iman itu lesu termakan duka
Menyelimuti seluruh jiwa yang lama terbuka
Semua telah terlambat saja
Namun apakah sia-sia
Jika aku menyerahkan bunga-bunga
Kepada embun yang telah tiada?
Bandung, 2009, Penulis: Ferdinaen Saragih
Puisi Lainnya
Madu Setengah Jadi
Pada akhirnya aku kembali lagi
Diatas pulau bermain layaknya dulu
Sayang kau rogoh saku
Tak ada yang kubawa dalam kantong
Datar. Perut yang kuisi sepuluh tahun silam
Masih tersisa darah di serupa ranting
Kering peninggalan
Jangan kau sayangkan waktu kepergian
Telah banyak kujilat tanah
Untuk kumuntahkan di pulau ini
Serupa kotoran musang
Dipelataran kebun kopi kita dulu
Berisi biji kopi unggul
lalu kubuat madu itu menjadi-jadi
Setia Budhi, 2009
Kehilangan
Kalong telah menjatuhkan
buah pada rumput
Semutlah yang berkerumun menikmati
Begitu pula kau
Telah kujatuhkan pada daratan
bukan punyaku
Sedihku beku diantara hari lalu
Kala hujan
Panas terik
aku tak lagi atapmu
Kutahu kesunyian bersamaku
Disela kesalahan
Sampai merenggutmu dariku
Serupa mutiara Yang kubuang
Di samudera lalu
Bandung, 2009
Bingkisan Hujan
Hujan membukakan lama tak kupunya
Kehangatan mata diiklaskan dalam gerimis
Selembut dentingan dia rebahkan
Sebuah laut dalam mata yang kedinginan
Hujan mengembalikan yang lama hilang
Melukis sebuah raga menawan tubuh
Seelok angin di sela terik mentari
Kubungkam keheningan suara
Kuhancurkan wajah memudar
Bersamanya aku menimbun gema
Terbang layaknya sepasang kupu-kupu
UPI, 2009
Perang
Diantara rumah dan tembok sunyi
Kau lontarkan gemersik peluru
Semua keras
Bersemayam dalam ketidakberdayaan
Haruskah kematian mengetuk pintumu
Haruskah kematian mengutuk jiwamu
Keegoisan telah mengubahmu
Menjadi hakim kematian
Mencuri hak Tuhan
Yang kutahu berabad-abad silam
Setia Budhi, 2009
Kusta dan Sajak
Bersabung gelisah di dadaku lama
Organ yang lama kupakai menconteng-conteng kata
Bersuara tanpa lelah di media-media
Meleleh habis oleh kusta yang lama tertanam
Serupa gulma di tanah subur
Bukankah tanganku serupa air di antara kemarau
Lalu daun-daun tumbuh tanpa kerontang
Hingga hati tak terbakar oleh api dunia
Sungguh aku tak dapat lagi membajak sawah
Mengukir patung, bahkan menulis sajak
Layaknya semusim lalu
Tinggal menunggu kemusnahan raga
Yang tak kutahu kapan
Bandung, 2009
Duka dan Bahagia
;Tua Gatuh
Adakah terang setelah gelap Begitu pagi setelah
Malam, dukaku terlalu berat
Tak terjamah olehku
Apakah lusa dukaku bahagia
Embun itu telah beranjak dan berhenti menetes
Dunianya telah berbeda, embun itu
Tak akan menetes lagi ucap mereka
Aku telah lama sadar akan manusia
Mengimaninya layaknya Tuhan
Kini iman itu lesu termakan duka
Menyelimuti seluruh jiwa yang lama terbuka
Semua telah terlambat saja
Namun apakah sia-sia
Jika aku menyerahkan bunga-bunga
Kepada embun yang telah tiada?
Bandung, 2009, Penulis: Ferdinaen Saragih
Puisi Lainnya
Gimana rasanya ya madu setengah jadi ini hehehe
BalasHapusjago nih sobat bikin puisi. salam kenal aja ya sob
BalasHapus