Puisi Al-mauki Solihin
Perempuan Bermata Jingga
Aku hanya Musyafir yang menyeret langkah tak tentu arah,
takan menetap pasti.
takan mampu berikan berjuta bunga
atau utaian sajak
sebagai ungkapan syukur
atas bening oase di jingga matamu
atas riwayat dahagaku
yang terhapus sudah.
Hanya rangkaian kata
berlumut kisah masa lalu
yang mengendap
dari hasil pencarianku
yang dapat kuberikan padamu.
Moga tercatat dalam buku harianmu.
Aku pergi.
Kuharap dapat sekali lagi
singgah di teduh matamu,
berenang-renang dalam
buaian gelak tawamu,
meneguk perlahan sejukrnya
tingkah manjamu,
agar hilang penat
yang kian menggila,
dalam pencarianku bersama sepi,
Sejatinya aku pun letih.
meski kusenang menyendiri
aku pasti kembali
Di negeri ini,
dan di negri lain yang kusinggahi
kulantunkan harap agar kemarau panjang
yang kerap datang menantang
tak keringkan oase di matamu.
Damailah kau pemilik mata
yang menyuguhkan harapan
Kerinduanku terpahat begitu dalam.
Bandung, 24 Januari 2010
Andai Dia Ibumu
ketika teriknya mentari telak menikam kepala
ia barlari telanjang kaki sambil menggendong bocah menanti mati
derai air mata padamkan panasnya sengatan aspal
berlari
demi si dekil berkulit hitam
berlari
demi si kumal dengan lengkung mata yang dalam menujam
berlari dan terus berlari
demi si krempeng dengan tonjolan tulang pipi
yang membentuk guratan nadirnya di tiap sisi
salahkah ia si kaum papa
hingga luka itu pun kian menganga
adakah ibu yang tak memerih ketika melihat
sesak napas anaknya akibat terus digauli luka
adakah ibu yang tak merintih duka ketika menatap
buah hatinya terpasih perih hingga matanya pun memutih
hanya merintih
menatap raut muka dan memeluknya erat-erat
berharap waktu kan terhenti
Agar ia dan kain lusuhnya bisa tetap menemani
2009
Di Ranah Mana?
Di pintu ini kerebahkan segenap penat dan peluhku
kubentangkan kakiku yang rapuh
tapi tidak benakku
begitu liar dan haus akan tanya
merotasi dimensi yang tak konon tak harus dijelajahi
memaksaku bercumbu dengan larutnya malam
demi mengejar kebenaran hakiki
ingin kuberlari tak bernyayi
Namun dahaga kian mengila
Dan membawa sepi akhirnya
serasa meneguk air laut ditengah luasnya samudra
lagi dan lagi tanpa ku sadari tuk apa lagi?
kini tiada lagi kata selain kata “mengapa”
meski kadang aku membencinya karna letih sudah
takan kubiarkan ia sirna,
aku tlah basah di samudra logika
kan kututup mataku dengan kata-kata
kututup telingaku dengan kata-kata
kututup jiwaku dengan kata-kata
kututup semua ranah dengan kata-kata
meski aku kan binasa
hanya demi tiada lagi dahaga
karna sejatinya aku pun sama
bahkan malikat pun bertanya
Rinduku
kudekap senyummu
yang menangkup erat telaga hatiku
dalam tangis rerumputan
kuberdoa pada tuhan
s’moga cermin rinduku
nyalakan lilin kecil dimatamu
Bandung, 13 Januari 2009
Tentang Penulis
Al-mauki Solihin, lahir di Mauk-Tangerang.
Puisi Lainnya
Aku hanya Musyafir yang menyeret langkah tak tentu arah,
takan menetap pasti.
takan mampu berikan berjuta bunga
atau utaian sajak
sebagai ungkapan syukur
atas bening oase di jingga matamu
atas riwayat dahagaku
yang terhapus sudah.
Hanya rangkaian kata
berlumut kisah masa lalu
yang mengendap
dari hasil pencarianku
yang dapat kuberikan padamu.
Moga tercatat dalam buku harianmu.
Aku pergi.
Kuharap dapat sekali lagi
singgah di teduh matamu,
berenang-renang dalam
buaian gelak tawamu,
meneguk perlahan sejukrnya
tingkah manjamu,
agar hilang penat
yang kian menggila,
dalam pencarianku bersama sepi,
Sejatinya aku pun letih.
meski kusenang menyendiri
aku pasti kembali
Di negeri ini,
dan di negri lain yang kusinggahi
kulantunkan harap agar kemarau panjang
yang kerap datang menantang
tak keringkan oase di matamu.
Damailah kau pemilik mata
yang menyuguhkan harapan
Kerinduanku terpahat begitu dalam.
Bandung, 24 Januari 2010
Andai Dia Ibumu
ketika teriknya mentari telak menikam kepala
ia barlari telanjang kaki sambil menggendong bocah menanti mati
derai air mata padamkan panasnya sengatan aspal
berlari
demi si dekil berkulit hitam
berlari
demi si kumal dengan lengkung mata yang dalam menujam
berlari dan terus berlari
demi si krempeng dengan tonjolan tulang pipi
yang membentuk guratan nadirnya di tiap sisi
salahkah ia si kaum papa
hingga luka itu pun kian menganga
adakah ibu yang tak memerih ketika melihat
sesak napas anaknya akibat terus digauli luka
adakah ibu yang tak merintih duka ketika menatap
buah hatinya terpasih perih hingga matanya pun memutih
hanya merintih
menatap raut muka dan memeluknya erat-erat
berharap waktu kan terhenti
Agar ia dan kain lusuhnya bisa tetap menemani
2009
Di Ranah Mana?
Di pintu ini kerebahkan segenap penat dan peluhku
kubentangkan kakiku yang rapuh
tapi tidak benakku
begitu liar dan haus akan tanya
merotasi dimensi yang tak konon tak harus dijelajahi
memaksaku bercumbu dengan larutnya malam
demi mengejar kebenaran hakiki
ingin kuberlari tak bernyayi
Namun dahaga kian mengila
Dan membawa sepi akhirnya
serasa meneguk air laut ditengah luasnya samudra
lagi dan lagi tanpa ku sadari tuk apa lagi?
kini tiada lagi kata selain kata “mengapa”
meski kadang aku membencinya karna letih sudah
takan kubiarkan ia sirna,
aku tlah basah di samudra logika
kan kututup mataku dengan kata-kata
kututup telingaku dengan kata-kata
kututup jiwaku dengan kata-kata
kututup semua ranah dengan kata-kata
meski aku kan binasa
hanya demi tiada lagi dahaga
karna sejatinya aku pun sama
bahkan malikat pun bertanya
Rinduku
kudekap senyummu
yang menangkup erat telaga hatiku
dalam tangis rerumputan
kuberdoa pada tuhan
s’moga cermin rinduku
nyalakan lilin kecil dimatamu
Bandung, 13 Januari 2009
Tentang Penulis
Al-mauki Solihin, lahir di Mauk-Tangerang.
Puisi Lainnya
Perempuan bermata jingga. wow! judul yg sangat romantis mas..
BalasHapus